Seharusnya
aku mulai kelas pada jam sembilan pagi, kelas Sejarah Sastra Indonesia. Kelas
ini berbeda dengan kelas yang kujalani kemarin sore. Aku memang mengambil
program studi untuk Bahasa dan Sastra sekaligus. Sejauh ini, dalam kelas
Sejarah Bahasa, aku mempelajari tentang induk-induk Bahasa Melayu dan bagaimana
pada akhirnya Bahasa Indonesia yang dipilih menjadi bahasa resmi negara. Untuk
kelas Sejarah Sastra, aku mempelajari tentang karya-karya yang lahir dari zaman
awal sejarah sampai saat ini. Menurut pribadiku sendiri, aku lebih menyukai
kelas Sejarah Sastra, meskipun untuk mempelajari sejarah, aku selalu tertarik,
dan dalam waktu yang bersamaan tidak dapat dipungkiri juga bahwa kelas itulah
yang membuatku mengantuk setengah mati saat pengajar sedang bermonolog.
Jadi,
hari ini aku baru ada kelas pukul sembilan pagi dan sudah sampai kampus pada
pukul tujuh pagi. Ini semua karena pagi ini aku mengantar nasi bakar untuk
pesanan anak farmasi.
Aku
punya usaha kecil-kecilan, meski untung tidak seberapa, tapi lumayan untuk beli
boba tanpa harus pakai uang saku sehari-hari, yaitu aku jualan nasi bakar! Nasi
bakarku sudah punya halaman instagramnya sendiri di @tokomataharikecil.
Kedepannya, aku akan buka jasa catering dan
juga menjual kue-kue kering. Kalau nanti sudah agak maju lagi, mungkin impianku
soal ingin punya toko kue kecil bisa terkabul. Hehe. Aku tidak menargetkan
sejauh itu, yang penting untuk saat ini lumayan untuk beli jajanan kecil-kecil.
Yang
kulakukan pada akhirnya adalah memilih untuk menulis-nulis saja. Toh, bagus
untuk mengisi waktu luang dan melepas kata-kata yang ada di kepala. Daripada
dipendam dan tidak tersalurkan, meskipun saat dituliskan, hasilnya juga tidak
bagus-bagus amat.
Aku
berjalan dari parkiran perpustakaan pusat secara santai dan tenang, melihat
bagaimana sinar matahari yang masih hangat bercampur dengan udara yang masih
segar. Sinar-sinar matahari tersebut menembus celah-celah pepohonan yang
menimbulkan kesan lebih hangat dan bersahabat lagi. Suasananya sangat menyenangkan,
selain itu aku sangat bersyukur bahwa pagi ini tidak hujan. Entah bagaimana
nasib nasi bakarku kalau pagi ini hujan. Ohiya, meski masih pagi, sudah banyak
orang-orang yang berkumpul di Lapangan Pancasila. Sepertinya para perkumpulan
lansia yang sedang berolahraga, ada yang memakai seragam warna merah, dan ada
juga yang merah muda atau pink. Selain
itu, banyak juga mahasiswa yang sudah datang, mungkin para pejuang kelas pagi.
Sama sepertiku tiap hari Senin untuk datang ke kelas Teori Drama.
Panggung Terbuka FIB ft. Sinar Matahari Pagi |
Pada
awalnya sebenarnya aku ingin lewat Jalan Sosio Humaniora yang sudah jadi
baru-baru saja ini. Sudah tertata rapi dan terlihat semakin luas, dan juga
semakin tinggi. Tapi entah kenapa langkah kaki membawaku jalan melalui area
Kolam Kodok, berarti aku lewat pintu barat, aku baru sadar saat sudah sampai di
sana.
Hal
pertama yang kuperhatikan adalah bunga-bunga yang sedang tegak bermekar-mekaran
di depan tulisan “Fakultas Ilmu Budaya’, ada empat jenis bunga kalau tidak
salah; warna putih, kuning, merah, dan ungu. Lalu aku masuk lewat sisi kanan
Panggung Terbuka dan melihat bahwa cahaya matahari menyiram salah satu sisi
Panggung Terbuka dengan begitu indahnya. Fakultas belum ramai, namun tidak
berarti tidak ada siapa-siapa. Selain mahasiswa-mahasiswa yang kutemui di Kantong
Parkir Perpustakaan Pusat dan juga lansia-lansia di Lapangan Pancasila tadi,
yang tidak luput adalah para satpam yang berjaga, para tukang kebun, dan
orang-orang yang sangat berjasa lainnya.
btw : ini tempat pertama kali aku terjongkok menangis di fakultas malam-malam |
Aku
suka melihat wajah-wajah mereka pagi ini. Meski menyapu sendirian dan terlalu
pagi, wajah mereka tidak tertekuk. Aku juga melihat para tukang kebun yang
sedang membersihkan daun-daun dan juga bak sampah ada yang saling mengobrol dan
bercanda. Aku jadi teringat tukang kebun semasa SMA-ku yang ramah dan suka bercanda
dengan para siswa-siswa. Ada juga tukang bersih-bersih semasa itu yang kuajak
ngobrol, beliau terdengar menikmati pekerjaannya saat itu dibandingkan dengan
pekerjaan sebelumnya saat menjadi karyawan pabrik. Atau sebenarnya, keduanya
sama-sama beliau nikmati.
Lain
waktu, aku juga mengobrol dengan tukang becak yang tinggal di Kampung Code.
Mungkin kapan-kapan akan kuceritakan. Aku suka sekali mengobrol dan mendengar
berbagai cerita dari berbagai sudut pandang. Andai aku jadi laki-laki dan
Ayahku tidak khawatir lagi kalau aku pulang tengah malam, aku pasti bisa
mengobrol sana-sini. Karena aku ingin mengobrol dengan pedagang angkringan,
toko-toko bakmi godhog, dan lainnya.
Jadi
terkadang aku berpikir, dan juga berniat menuliskannya kapan-kapan, bahwa tidak
adil atau tidak bijaksana menganggap pekerjaan seperti tukang bersih-bersih,
penjual koran, tukang kebun, dan pekerjaan satu sama lain lebih rendah daripada
lainnya. Mendengar nasehat, “jangan
berakhir menjadi orang-orang itu, jangan bekerja jadi itu,” di suatu waktu
kadang terdengar kejam dan sok tahu. Pernah nggak sih berpikir kalau orang-orang
itu sebenarnya sangat menikmati pekerjaan itu dibandingkan pekerjaan lainnya,
mungkin karena terbiasa, namun bisa juga karena terpaksa dan lama-lama jadi
biasa. Tapi bagaimana jika pekerjaan yang dianggap ‘tidak seberapa’ bermaknanya
itu merupakan cita-cita mereka?
Pernah
tidak sih menonton serial kartun, yang secara tiba-tiba kuingat sembari menulis
kalimat ini adalah serial Upin dan Ipin, kartun asal Malaysia, waktu itu ada
yang bercita-cita jadi tukang sampah bukan? Bahkan aku sewaktu kecil, yang
polos, yang tidak realistis, yang tidak mengkhawatirkan hidup, berpikir ingin
menjadi penjual koran. Aku ingin jadi penjual koran yang berkeliling naik
sepeda pagi-pagi, tahu isi berita hari itu dan berteriak memberitakan apa yang
terjadi dengan dunia. Jadi, menurutku tidak adil dengan sok tahu bahwa
orang-orang tidak menikmati pekerjaannya lantas kita disuruh jangan bekerja
seperti mereka.
Aku
tahu harus realistis, tapi kuharap kalian mengerti apa yang kubicarakan secara random ini. Mungkin seharusnya, apapun
pekerjaannya adalah yang penting kita dapat menikmati pekerjaan tersebut, yang
penting apa yang kita lakukan membuat senang dan tidak membuat orang lainnya
menderita. Mungkin nasehat yang seharusnya diberikan adalah, kita harus lebih
menghormati pilihan seseorang dan mendukung apapun yang mereka lakukan. Tapi,
pikiranku lainnya mengatakan bahwa aku bilang begini juga karena ‘sok tahu’
saja, bisa saja para pekerja yang kusebutkan di atas tadi ingin berontak dan
bilang, “SIAPA SIH MEMANG YANG MAU BEKERJA SUSAH-SUSAH SEPERTI KAMI, TOH KAMI
JUGA MENDERITA”. Baiklah.
Sering dibuat main sepak takraw, pernah juga main bulutangkis di sini |
lorong kesukaan tempat duduk sambil menghabiskan jeda kelas |
Tulisan
ini sudah tertunda selama tiga hari, sekarang hari Minggu. Sewaktu itu temanku
tiba-tiba datang dan duduk di depanku, akhirnya aku memilih mengobrol dengannya
sembari menunggu pukul sembilan datang. Aku juga tidak tega membiarkan kawanku
melihatku menulis dengan tampang serius yang menurutku akan terlihat sangat
galak dan Ia tidak melakukan apa-apa. Jadi kami mengobrol, dan Ia bercerita
tentang mengapa Ia bisa mendapatkan bekas kemerahan serupa bekas dicupang di
lehernya.
sinar mataharinya so uWuuuu |
Udara
pagi itu sangat hangat. Matahari lambat laun menyinari tempat duduk kami. Sebelum
temanku datang. Ada seorang mbak-mbak bertanya, kapan perpustakaan fakultas
buka? Dan kujawab mungkin pukul delapan atau sembilan. Ia berterimakasih, aku
jadi ikutan cemas menoleh-noleh ke arah pintu perpustakaan. Bagiku, rasanya
seperti ada beban moral saat menyampaikan informasi yang salah. Bisa saja saat
aku yakin menyebut jam sembilan, orang itu bisa melakukan hal lainnya daripada
menunggu pintu terbuka selama berjam-jam. Pertanyaan lainnya datang dari
perempuan lain yang datang saat aku sedang mendengarkan musik dengan earphone bertanya di mana letak gedung G
dan aku salah menunjukkan arah malah menunjukkan padanya letak gedung C. Hal-hal
yang sepertinya tidak perlu dikhawatirkan tapi mampu membuatku merasa bersalah
dan berlarut-larut memikirkannya.
bangtem tengah, posisi terbaik |
\Pagi
di fakultas ternyata indah sekali meski bila kau habiskan seorang diri\
2 comments
Ada perasaan penuh dan bahagia ketika melihat foto-fotonya. Bagus sekali. Dan jepretanmu selalu berhasil buatku sedih, juga. Tampaknya kenangan di kampus akan menumpuk begitu banyak, ya. Bersyukur deh bisa melewati bareng kamu, ea.
BalasHapusTetap menulis ya, aku akan selalu baca.
sedih, tapi pengen terus-terusan ke tempat-tempat itu lagi. dasar memang masokis.
BalasHapusAyo menyapaku!